Kamis, 31 Desember 2009

BERSEKOLAH DENGAN MOTIF YANG SALAH

Seorang ibu berkata kepada anaknya, “Nak, kalau sudah besar kamu harus jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) biar hidupmu tidak susah. Jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur di pasar. Biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang. Lihat tetangga kita itu yang sekolahnya tinggi, hidupnya enak. Kamu harus mencontoh dia”. Sementara di lain pihak, seorang ibu berkata, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Dokter sudah ada, menteri sudah ada , presiden cuma satu. Mending uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak pinak, lebih jelas hasilnya daripada harus dibayarkan untuk sekolah. Coba lihat si Joko, sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai nganggur, akhirnya sekarang jadi sopir angkot”.

Sadar atau tidak, di masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan di atas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seorang yang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status sosial yang tinggi di masyarakat. Indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pakai sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak. Dan apakah seorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaanya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, S3) lulus dan setelah itu menjadi pengangguran, maka dia telah gagal sekolah. Hal semacam inilah yang sering ditemui di masyarakat.

Hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah sebab kesalahan motif sekolah sebagai akibat dari perilaku sekolah yang kapitalistik. Akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas “Gengsi gede-gedean”.Beberapa hal di atas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita, bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengumpulkan orang-orang lantas diceramahi,setelah itu pulang ke rumah mengerjakan tugas, besoknya ke sekolah lagi sampai kelulusan dicapainya atau diibaratkan sekolah berbasis jalan tol

Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khususnya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran. Sehingga melalui kekuatan kesadaran, seseorang akan dapat menganalisis, menggantikan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran dan lainnya merupakan persoalan sistem, bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan di setiap diri siswa.
Selain itu, megembalikan kepercayaan masyarakat, bahwa sekolah tidak sekedar tahapan untuk bekerja kantoran seharusnya menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan. Sehingga masyarakatpun bisa memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar